Matematika merupakan ilmu yang mendasari
perkembangan teknologi dan berperan penting dalam berbagai disiplin ilmu serta dapat memajukan
daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan
komunikasi dewasa ini tidak terlepas
dari peran matematika, terutama dilandasi oleh
perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang
matematika diskrit dan lain
sebagainya.
Selain itu, matematika menempati posisi paling mendasar
dalam hierarki ilmu pengetahuan, hal
ini setara dengan ilmu filsafat yang merupakan dasar
dari semua ilmu pengetahuan. Kesetaraan ini dilandaskan pada konsep logika yang
melekat pada kedua ilmu tersebut. Dengan menggunakan logika, yang dikenal
dengan logika
matematika,
berbagai konsep dapat dibangun hingga menjadi ilmu matematika yang dikenal saat ini. Oleh karena itu, untuk menguasai teknologi di masa
depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Selain logika, matematika memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya yaitu
nilai kejujuran dan
keterbukaan, nilai kekonsistenan, nilai ketelitian, dan nilai keselarasan. Peran keempat nilai tersebut ditambah dengan logika matematika sangat dibutuhkan untuk dapat memberbaiki kualitas
sumber daya manusia yang ada di negara kita. Namun dalam kenyataannya, untuk menerapkan nilai-nilai luhur dalam matematika
tersebut tidaklah mudah. Hal ini disebabkan menurut Wahyudin (1999) oleh
pandangan masyarakat yang memandang bahwa matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang sulit dipahami sejalan sehingga tidak heran jika banyak siswa
yang tidak senang terhadap matematika yang kemungkinan besar disebabkan oleh
sulitnya memahami materi dan konsep matematika.
Konsep-konsep matematika tersusun secara terstruktur, logis dan sistematis
mulai dari konsep yang sederhana sampai konsep yang paling kompleks, sehingga
memerlukan kemampuan berpikir yang baik untuk menguasainya. Salah satu komponen
dari berpikir matematis tingkat tinggi (high-
order mathematical thinking) adalah koneksi matematika. Menurut Ruspiani (2000:68) kemampuan koneksi matematika adalah
kemampuan siswa mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep
matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan bidang
lainnya. Koneksi matematika bertujuan untuk membantu persepsi siswa dengan cara
melihat matematika sebagai bagian yang terintegrasi dengan kehidupan. Adapun
tujuan pembelajaran koneksi matematika di sekolah (dalam Rokhaeni, 2011:3 ) dapat
dirumuskan ke dalam tiga bagian yaitu memperluas wawasan pengetahuan siswa ,
memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai
materi yang berdiri sendiri, serta mengenal relevansi dan manfaat matematika
dalam konteks dunia nyata.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan secara umum bahwa kemampuan berpikir tingkat
tinggi, khususnya kemampuan koneksi
matematika sangat penting dimiliki oleh
siswa. Namun, menurut survey (dalam Rokhaeni, 2011:3) yang dilakukan oleh Programme for International Student
Assesment bahwa Indonesia menduduki peringkat ke -58 dari 65 negara
partisipasi (PISA, 2009). Penelitian tersebut mengemukakan bahawa kemampuan
siswa dalam menerapkan konsep matematika ke dalam masalah-masalah yang
berkaitan sangat rendah. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa 66% siswa
Indonesia hanya mampu mengenali tema masalah, tetapi tidak mampu menemukan
keterkaitan antara tema masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Keterkaitan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah koneksi antara tema masalah
dengan segala pengetahuan yang ada.
Hasil
penelitian lain yang menunjukan kemampuan koneksi matematika siswa sangat
rendah terdapat pada penelitian Ruspiani
(dalam Nasir, 2008) yang mengatakan bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi
matematika siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari
60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2% untuk koneksi matematika dengan pokok
bahasan lain, 44,9% koneksi matematika dengan bidang studi lain, dan 67,3%
untuk koneksi matematika dengan kehidupan keseharian. Berdasarkan data tersebut kita bisa melihat bahwa siswa tidak mampu menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan matematika dengan
dengan disiplin ilmu lain, dan menghubungkan matematika dengan dunia nyata.
Terlihat dari tidak bisanya mereka mengerjakan soal cerita dan soal-soal
aplikasi matematika.
Rendahnya kemampuan koneksi matematika siswa dapat berpengaruh pada
prestasi belajar siswa. Menurut Wahyudin (dalam Rahman, 2010:4), penyebab
rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran matematika diantaranya karena
proses pembelajaran yang belum optimal. Proses pembelajaran yang ada pada saat ini umumnya guru hanya sibuk sendiri
menjelaskan apa yang telah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan siswa hanya
sebagai penerima informasi. Akibatnya siswa hanya mengerjakan apa yang
dicontohkan oleh guru, tanpa tahu makna dan pengertian dari apa yang mereka
kerjakan. Hal ini menyebabkan siswa kurang memiliki kemampuan mengenali
representasi ekuivalen dari konsep yang sama, menggunakan dan menilai kaitan
antar topik matematika, menggunakan dan menilai kaitan antara topik matematika
dengan disiplin ilmu lain, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat kemampuan tersebut merupakan indikator kemampuan koneksi matematika
dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian , kemampuan koneksi matematika
siswa harus dikembangkan supaya lebih meningkat.
Salah
satu cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kemampuan koneksi matematika yaitu dengan
menggunakan dengan model Problem Based Instruction (PBI)
disebut juga Pembelajaran
Berdasarkan Masalah . PBI ini merupakan Model
pembelajaran yang mengangkat satu
masalah aktual sebagai satu pembelajaran
yang menantang dan menarik. Peserta didik diharapkan dapat belajar memecahkan
masalah tersebut secara adil dan objektif (Widodo, 2009). Menurut
Widodo (2009) dengan Problem Based Instruction (PBI)
guru dapat melatih siswa untuk menjadi
pembelajar mandiri, meniru peran orang
dewasa dan terbiasa memandang suatu
masalah dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda. Secara
garis besar PBI terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang
autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kapada mereka untuk
melakukan penyelidikan dan inkuiri.
PBI juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh ahli
psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget,
anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami
dunia sekitarnya. Pandangan konstruktivis-kognitif mengemukakan, siswa
dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi
terus-menerus tumbuh dan berubah saat siswa menghadapai pengalaman baru yang
memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. PBI juga merupakan
pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi.
Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam
benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan
sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun
kompleks (Ratumanann, dalam Trianto, 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditraik sebuah hipotesis bahwa model PBI dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematika siswa .
0 komentar:
Posting Komentar